Medan, SSOL- Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Balai menuntut terdakwa Meliana (24) penduduk kelurahaan Tanjung Balai Kota Tanjung Balai Selatan Kota Tanjung Balai 18 Bulan penjara.
Tuntutan itu dibacakan Jaksa Penutut Umum, yang diketuai Hardiansyah, SH Kasi Intel Kejari Tanjung Balai di Pengadilan Tipikor, Medan, Senin (13/08/2018). Tim koordinator jaksa yang dipimpin Anggi, SH.
Jaksa penuntut umum dalam dakwaan, sebelumnya bahwa terdakwa Meliana yang betempat tinggal berkedekatan dengan Masjid Al Maksum Kota Tanjung Balai Selatan itu menyampaikan kepada saksi bahwa dirinya merasa resah akibat, adanya suara bising dimasjid sehingga terdakwa meminta kepada saksi untuk mengecilkan suara.
Sambil emosi, terdakwa mengatakan kepada saksi yang merupakan anak pengurus Masjid al Maksum kota Tanjung Balai tersebut, pagi, siang sore dan malam bising dengan suara azan. Pada hal sebagaimana yang keterangan saksi dari majelis ulama indonsia (MUI) setiap pagi, selalu dikumandangkan azan subuh, siang azan dzuhur, sore azan ashar, azan magrib dan azan isya.
Dan azan-azan yang berkumandang ini adalah pertandi panggilan bagi umat islam khususnya kaum muslimin dan muslimat untuk melaksanakan sholat sebagaimana yang ditentukan dalam islam.
Selain itu, masjid merupakan tempat ibadah. Sedangkan keberadaan masjid itu sudah ada sejak tahun 1970. Sementara terdakwa baru tinggal selama 8 tahun dilingkungan I kelurahaan Tanjung Balai Kota kecamatan Tanjung Balai Selatan.
Keterangan ini, sebagaimana yang dijelaskan saksi yang merupakan kepala lingkungan di kelurahaan tersebut. Menurutnya, bahwa selama ini masyarakat tidak ada yang terusik dengan suara azan di masjid tersebut.
Sedangkan masyarakat yang berdomisili di lingkungan itu teridri dari masyarakat suku Jawa, Minang, Mandailing, Melayu dan lainnya. Selama ini, tidak pernah mengusik persoalan azan dan mengaji di masjid jelas saksi di pengadilan dalam persidangan sebelumnya.
Sedangkan terdakwa Meliana yang merupakan etnis Tionghoa, itu begitu tinggal dilingkungan itu, mempersoalkan suara yang selama ini menjadi kebanggan umat islam di daerah tersebut.
Terdakwa, yang sempat difasilitasi oleh kepala lingkungan, luraha kelurahaan Tanjungbalai Kota serta Camat kecamatan Tanjungbalai Selatan, bersama Mui setempat tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebab massa yang terus berdatangan sehingga akan menhakimi terdakwa, akhirnya terdakwa dibawa keluar dari kantor lurah setempat.
Dalam persidangan sebelumnya saksi-saksi yang dihadirkan jaksa diantaranya kepala lingkungan, pengurus masjid, pemilik warung tempat terdakwa belanja, tokoh masyarakat dan tokoh agama lainnya.
Para saksi dalam keterangannya menjelaskan bahwa apa yang dilakukan terdakwa sudah penghinaan terhadap agama islam, karena persoalan azan dan mengaji merupakan siarnya islam bukan harus diatur oleh siapapun. Sedangkan tempat pelaksanaannya jelas di masjid, jelasnya dihadapan majelis hakim yang diketua Wahyu Prasetio, SH, MH dengan hakim anggota Erintuah Damanik, SH, MH dan Suryana, SH, MH.
Usai pembacaan tuntutan oleh jaksa penutut umum (JPU), penasehat hukum terdakwa, meminta waktu kepada kepada majelis hakim sampai dengan Kamis, (16/08/2018) untuk menyampaikan nota pembelaan terdakwa.
Sidang ditunda sampai dengan Kamis, (16/08/2018) dalam agenda nota pembelaan (Pledoi) penasehat hukum terdakwa, kata ketua majelis hakim sambil mengetukan palu hakim diruang Cakra Utama Pengadilan Negeri Tipikor Medan.
Rafli