Kepala Balitbang Sumut Ir.Irman Oemar “Perlukah PSBB Diterapkan DI Sumatera Utara?

Kepala Balitbang Provsu dan Anggota DRD Provsu
Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) di sumut sudah mencapai tahap mengkhawatirkan.
Jumlah kasus Covid-19 terus meningkat dari waktu ke waktu. Dinas Kesehatan provsu mencatat, hingga tanggal 11 April 2020 telah terdapat 90 kasus positif covid-19. 65 kasus diketahui melalui tes PCR, sedangkan 25 lainnya melalui Rapid test (RDT). Peningkatan jumlah kasus dengan rata￾rata 4-5 orang/hari dihitung sejak ditemukannya kasus pertama pada 21 Maret 2020 yang lalu, sudah cukup tinggi. Bahkan sumut terdata sebagai daerah provinsi dengan kasus covid-19 terbanyak di pulau Sumatera. Kasus pertama yang merupakan transmisi impor dari warga yang baru pulang dari luar negeri, diduga telah menjadi transmisi lokal. Sebab sebagian besar kasus diketahui bukan lagi dari orang yang baru bepergian dari luar negeri, namun dari masyarakat yang sudah lama stay di wilayah sumut. Covid-19 telah tertular melalui hubungan keluarga, hubungan kerja, serta dari hubungan orientasi nilai budaya dan agama yang sama.
Sejak WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, sebenarnya seluruh negara (termasuk Indonesia dan tentunya Provinsi sumut) telah menerapkan berbagai upaya pencegahan. Hal tersebut dilakukan dengan himbauan Social Distancing atau physical distancing, pelaksanaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta melakukan pembatasan kegiatan-kegiatan sosial, adat, budaya, dan agama yang melibatkan banyak orang. Namun dengan peningkatan jumlah dan penyebaran kasus yang terus terjadi, pada tanggal 31 Maret 2020 yang lalu Pemerintah resmi menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat sebagai akibatpandemi Covid-19 tersebut di Indonesia. Serta menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB), sebagai kebijakan untuk membatasi pergerakan orang dan barang. Kebijakan tersebut
ditetapkan melalui PP No. 21 tahun 2020 dan diatur pelaksanaannya dalam Permenkes No. 9 tahun 2020.PSBB dan Kosekuensinya.

Dalam konteks pandemi Covid-19, PSBB diartikan sebagai pembatasan kegiatan tertentu
penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 untuk mencegah kemungkinan
penyebaran Covid-19. Kriteria yang harus dipenuhi daerah provinsi/kabupaten/kota untuk dapat
ditetapkan sebagai wilayah dengan status PSBB adalah: a. jumlah kasus dan/atau jumlah kematian
akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan b.
terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. PSBB
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan kepala daerah. Penyelenggaraan
PSBB di suatu daerah paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan
kegiatan keagamaan dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Namun, dapat juga ditambah dengan pembatasan kegiatan sosial dan budaya (termasuk pelarangan kerumunan),pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan. Pembatasan-pembatasn tersebut akan diberlakukan selama masa inkubasi terlama Covid-19, dan dapat diperpanjang.

Peliburan sekolah dan tempat kerja dilakukan dengan mekanisme belajar dan bekerja di rumah,
dikecualikan terhadap pendidikan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan kantor atau
instansi tertentu yang memberikan pelayanan. Pembatasan kegiatan keagamaan dilakukan dengan membatasi kegiatan keagamaan hanya dilakukan di rumah dan dihadiri keluarga terbatas, dengan menjaga jarak setiap orang. Dalam hal ini seluruh rumah ibadah akan ditutup untuk umum.
Sedangkan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum dilaksanakan dalam bentuk
pembatasan jumlah orang dan pengaturan jarak orang.

Pembatasan kegiatan sosial dan budaya yang dimaksud dilaksanakan dalam bentuk pelarangan
kerumunan orang dalam kegiatan sosial dan budaya serta berpedoman pada pandangan lembaga adat resmi yang diakui pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Pembatasan moda transportasi dilakukan dengan membatasi jumlah penumpang moda transportasi orang, membatasi layanan transportasi yang mengangkut barang. Baik udara, laut, kereta api, dan jalan raya.
Dikecualikan untuk angkutan barang dan esensial. Sedangkan pembatasan kegiatan lainnya khusus
terkait aspek pertahanan dan keamanan dilakukan dengan membatasi kegiatan lainnya khusus
terkait aspek pertahanan dan keamanan, yang dikecualikan pada kegiatan-kegiatan operasi
militer/kepolisian baik sebagai unsur utama maupun sebagai unsur pendukung tertentu.
Selama pelaksanaan PSBB, Pemerintah daerah bersama-sama dengan Pemerintah Pusat
diwajibkan untuk memastikan ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan PSBB. Seperti kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan. Serta diwajibkan untuk menyelenggarakan informasi dan pembinaan pelaksanaan PSBB.

Selama masa PSBB, setiap orang yang terdampak mempunyai hak mendapatkan pelayanan
kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya. Dalam hal ini, Pemerintah daerah bersama-sama dengan Pemerintah Pusat tidak hanya wajib memastikan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan masyarakat golongan tersebut.  Namun juga wajib memenuhinya atau memberikan secara langsung. PSBB di DKI Jakarta, dan bagaimana dengan sumut?

Sejak penerimaan usulan dibuka pada tanggal 4 April 2020, hingga sekarang sudah lebih dari 10
daerah telah mengusulkan pemberlakuan PSBB ke Kementerian kesehatan. Diantaranya adalah
DKI Jakarta, Timika, Sorong, Fakfak, Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok, Tangerang,
Tangerang Selatan, Dumai dan Banjarmasin. Pada tanggal 7 April 2020, melalui Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020, Menteri Kesehatan telah menetapkan DKI Jakarta sebagai daerah pertama yang bersatatus PSBB di Indonesia. Pertimbangan utama penetapan status tersebut adalah peningkatan dan penyebaran kasus Covid-19 yang signifikan di DKI Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 9 April 2020, Pemprov DKI Jakarta menetapkan aturan Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Melalui Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 33 Tahun 2020.

Balitbang dan Tim Ahli Gugus Tugas Penanganan Covid-19 provsu sebenarnya telah melakukan
kajian pemberlakuan PSBB di sumut, berdasarkan kriteria penetapan wilayah dengan status PSBB,
ketersediaan sumber daya, serta pertimbangan terhadap aspek ekonomi, sosial budaya dan
keamanan.

Dalam analisis epidemiologis, kajian tersebut menyimpulkan bahwa benar pandemi covid-19 telah mengancam keselamatan kesehatan masyarakat sumut. Sehingga dibutuhkan percepatan penanganan yang lebih terukur. Untuk ketersediaan sumber daya, data menunjukkan bahwa ketersediaan domestik atas kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan di sumut cukup siap,bahkan surplus hingga 3 (tiga) bulan ke depan di sebagian besar aspek. Sampai bulan juli,ketersediaan bahan makanan pokok dan strategis seperti beras masih akan surplus 482.306 ton, jagung 94.506 ton, bawang merah 6.334 ton, cabe merah 72.091 ton, daging sapi 25.334 ton, daging ayam ras 7.107 ton, telur ayam ras 12.595 ton, gula pasir 42.881dan minyak goreng 290.985 ton. Demikian juga ketersediaan BBM. Bahkan sampai bulan oktober solar masih akan surplus 177.069 KL, premium 73.194 KL, pertamax 44.950 KL, dan minyak tanah 265 KL.

Dari aspek ketersediaan SDM dan sarana dan prasarana kesehatan, kekurangan hanya ada pada
katersediaan APD dan alat tes Covid-19. Selain 5 rumah sakit yang telah ditetapkan sebagai rumah
sakit rujukan pasien Covid-19 di sumut, Pemprovsu juga telah menyiapkan rumah sakit pendukung. Seperti rumah sakit GL Tobing, Marta Friska 1 dan 2, Pringadi dan Haji. Cadangan kamar perawatan seperti Wisma atlit, BPSDM, Lions Club, Asrama Haji, BaLat Keagamaan, LPMP, Diklat Pertanian dan Diklat PU. Dengan total ketersediaan kamar lebih dari 1270 kamar, beserta SDM medis yang dibutuhkan. Dari sisi anggaran untuk operasionalisasi jaring pengaman sosial, Pemprovsu telah merencanakan anggaran sebesar 8,25 miliar rupiah. Bahkan dalam kondisi bahaya, Gubernur telah menyatakan akan siap mengalokasikan anggaran sebesar 1,5 triliun rupiah.

Berdasarkan pertimbangan aspek ekonomi, kajian tersebut mencatat bahwa bila PSBB
diberlakukan, maka dalam jangka pendek akan cukup signifikan menurunkan pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan angka pengangguran, serta meningkatkan jumlah angka kemiskinan.
Namun, dalam jangka panjang setelah krisis Covid-19 bisa diatasi maka kondisi perekonomian
akan dapat dipulihkan. Selanjutnya, atas analisis sosial budaya dan karakteristik masyarakat,
disimpulkan bahwa himbauan Social Distancing atau physical distancing tidak akan efektif
mencegah penyebaran Covid-19 di sumut. Dibutuhkan kebijakan dalam tataran regulasi yang
lebih terukur dan sistematis. Sedangkan dalam analisis terhadap aspek politik dan keamanan,
kajian tersebut melihat bahwa ancaman sesungguhnya dari pandemi covid-19 dan penanganannya bagi stabilitas dan kondusifitas politik dan keamanan di sumut adalah munculnya kepanikan, sitigma sosial dan kesenjangan informasi (hoaks) di tengah masyarakat. Sehingga diperlukan upaya penyeimbangan informasi dan peningkatan pengetahuan masyarakat terkait Covid-19, melalui manajemen informasi dan edukasi yang baik. Akhirnya kajian tersebut menyimpulkan bahwa PSBB dapat diberlakukan di sumut dengan memprioritaskan Kabupaten/Kota yang memenuhi kriteria.

Lalu, haruskah sumut segera mengusulkan untuk ditetapkan sebagai daerah berstatus PSBB seperti
DKI Jakarta?. Jawabanya, belum tentu. Sebab bila membandingkan sumut dengan DKI Jakarta
sebagai wilayah yang sekarang telah berstatus PSBB, terdapat berbagai perbedaan siginifikan
sehingga analisis untuk DKI Jakarta tidak selamanya boleh sama dengan daerah provinsi lainnya seperti sumut. Pertama, DKI Jakarta adalah episentrum atau pusat penyebaran Covid-19 dengan kasus terbanyak dan tingkat kematian tertinggi di Indonesia. Sebagai sebuah wilayah pusat pemerintahan dan perekonomian, telah terbukti bahwa banyak kasus yang terjadi di pulau jawa maupun wilayah lainnya di Indonesia, berawal dari orang yang berkunjung dan beraktifitas di
wilayah tersebut. Artinya, pemberlakuan status PSBB di Jakarta tidak hanya untuk menyelamatkan
warganya saja, namun juga warga daerah di sekitar Jakarta, bahkan masyarakat di seluruh Indonesia.
Kedua, geografi ekonomi (struktur keruangan aktivitas ekonomi) DKI Jakarta yang berbeda
dengan daerah provinsi lainnya seperti sumut. Dengan meratanya distribusi aktivitas ekonomi di
Jakarta, maka pergerakan orang dan barang yang tinggi akan sangat rentan memperluas
penyebaran Covid-19 ke seluruh wilayahnya.

Berbeda dengan sumut, pusat pertumbuhannyatersebar di beberapa daerah walaupun pergerakan utama berada di kawasan Medan, Binjai dan Deliserdang. Sehingga model pergerakan masyarakatnya tidak sama dengan DKI Jakarta.

Ketiga, model koordinasi antar Pemerintah daerah di DKI Jakarta lebih mudah daripada daerah
provinsi lainnya seperti sumut. Sebagai Ibukota Negara, pelaksanaan pemerintahan daerah DKI
Jakarta diatur dalam UU No 29 tahun 2007. Dimana kepala daerah bawahannya langsung dihunjuk oleh Gubernur dan legislatifnya hanya ada di level provinsi. Sedangkan daerah lainnya seperti
sumut diatur dengan UU No. 23 tahun 2014, dimana kepala daerahnya dipilih oleh rakyat dan
legislatifnya ada di semua level. Pemerintah DKI Jakarta tidak akan kesulitan dalam menetapkan
berbagai kebijakan daerah, termasuk dalam politik anggaran dan lain sebagainya. Berbeda dengan
Provinsi sumut, dimana tidak akan mudah merencanakan, menetapkan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan dalam lingkup provinsi.

Keempat, kemampuan keuangan daerah. DKI Jakarta adalah daerah dengan APBD tertinggi di
Indonesia. Pada tahun 2020 APBD DKI Jakarta dapat mencapai 87,95 triliun rupiah. Bandingkan
dengan sumut yang pada tahun 2020 direncanakan hanya 12,4 triliun rupiah. DKI Jakarta tentu akan memiliki kemampuan finasial yang jauh lebih kuat untuk menyediakan sumber daya yang
dibutuhkan, serta menanggung seluruh kebutuhan warganya yang terdampak.
Jika simulasi penerapan PSBB diterapkan di kota Medan. Karena kasus Covid-19 terus meningkat
dan menyebar secara signifikan, serta terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di
wilayah lain. Maka kota Medan sudah memenuhi syarat berdasarkan aspek kriteria pemberlakuan
PSBB. Namun dari aspek sosial dan ekonomi mari kita kalkulasi.

Di Kota Medan terdapat ribuan rumah ibadah. Mencontoh kebijakan DKI Jakarta yang membatasi
kegiatan keagamaan di rumah ibadah hanya maksimal 5 orang, maka tentunya tidak akan ada
ibadah berjamaah selama PSBB di kota Medan. Jika melanggar, maka pasal sanksi pidana akan
berlaku. Kondisi ini tentu akan sangat berbenturan dengan budaya masyarakat kota Medan yang
religius. Lihat saja sekarang, adakah himbauan untuk beribadah di rumah di laksanakan di kota
Medan?

Selanjutnya dari aspek ekonomi. Berdasarkan data resmi yg dikirim Pemerintah kota Medan ke
Pemprovsu pada tanggal 10 April 2020, terdapat 192.892 KK yang menjadi kelompok “miskin
baru” diluar warga miskin yang sudah mendapat bantuan dari Pemerintah sebelumnya. Kalau kita
analogikan setiap KK akan mendapat bantuan Rp 600.000/bulan, maka selama 3 bulan totalnya
akan sebesar Rp. 347.205.600.000. Dana sebegitu besar dari mana sumbernya?

Pertanyaannya adalah : Mampukah pemerintah daerah konsisten membatasi kegiatan keagamaan
dengan menutup seluruh rumah ibadah untuk umum?. Maukah masyarakat menuruti aturan untuk beribadah di rumah saja?. Sanggupkan dana APBD untuk membiayai kewajiban kepada
masyarakat yang terdampak sebagai konsekuensi penerapan PSBB tersebut?. Jawabannya
harusnya “Mampu”, karena keselamatan nyawa rakyat menjadi super prioritas dibanding yg lain.
Sinergitas potensi Pemprovsu dan Kota Medan akan menjadi kekuatan yang besar apalagi jika
didukung pemerintah pusat.

Apa yang harus dilakukan Sumatera Utara?
Melihat peningkatan kasus yang terus terjadi, PSBB memang sebuah pilihan kebijakan yang dapat mempercepat penanganan Covid-19 di sumut. Namun, kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan simultan. Namun harus parsial, dengan memilih dan memprioritaskan daerah Kabupaten/Kota yang telah memenuhi kriteria, serta tetap mempertimbangkan segala konsekuensi yang akan dihadapi. Langkah konkrit yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi sumut adalah 1) menghimbau para kepala daerah Kabupaten/Kota untuk melakukan kajian pemberlakuan PSBB berdasarkan kondisi objektif daerah masing masing; 2) melakukan pemetaan wilayah Kabupaten/Kota yang diprioritaskan untuk pemerlakuan PSBB; 3) menyusun rancangan regulasi (Peraturan Kepala Daerah) terkait skema pemberlakuan PSBB untuk lingkup sumut; 4)
berkoordinasi dengan Komandan Satuan Kewilayahan dan para Kepala Daerah Kabupaten/Kota, untuk menentukan keputusan usulan pemberlakuan PSBB untuk tingkat Provinsi atau tingkat Kabupaten/Kota; 5) merencanakan dan menyediakan anggaran penyelenggaraan PSBB di sumut;
6) segera membentuk Tim Penilai Pemberlakuan PSBB Provinsi sumut. Yang bertugas
memverifikasi usulan PSBB dari Kabupaten/Kota; dan 7) melakukan kordinasi intensif dengan
tokoh agama, masyarakat, adat, pemuda dan mahasiswa hingga ke tingkat desa. Untuk
menyamakan persepsi dan pemahaman percepatan penanganan Covid-19 Dengan demikian kebijakan PSBB akan dapat berdampak signifikan untuk mempercepat penanganan Covid-19 di sumut;.

Penulis dan kita semua tentu berharap, berdoa sekaligus melakukan evaluasi diri atas “Kemurkaan
Allah”. Agar cobaanNya dengn menurunkan virus corona segera berakhir. Amiiin. Mari bersatu
melawan Covid 19. Agar Sumut yang Bermartabat segera terwujud.