JAKARTA, SSOL – Untuk mengatasi defisit yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyarankan harus melakukan beberapa penyesuaian, di antaranya adalah besaran premi atau iuran yang harus dibayar. Namun demikian penyesuaian premi kemungkinan dilakukan setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
“Memang kita butuh momen tertentu dalam periode politik yang kebijakannya harus menunggu. Saya berharap jangan ada perubahan,” ujar Jusuf Kalla di dalam seminar dan diskusi pembiayaan yang berkelanjutan untuk Jaminan Kesehatan Nasional menuju Pelayanan Kesehatan Semesta (UHC) di Jakarta, Kamis (17/1).
Dengan besaran premi saat ini yang sebesar Rp23.000 per bulan menurutnya tidak mencukupi. Tapi di sisi lain pemerintah menyadari saat mendekati pemilu tidak akan mengambil kebijakan non populis seperti menaikan harga kebutuhan masyarakat.
Ia mencontohkan dinegara lain, seperti Vietnam besaran preminya mencapai Rp 60.000. Oleh karena itu, penyesuaian besaran premi BPJS nanti angkanya harus disesuaikan dengan kondisi saat ini termasuk mempertimbangkan inflasi.
“Harus disesuaikan dengan kondisi real yang ada, bukan hanya Rp 32.000 per bulan,” ujarnya.
BPJS Kesehatan Indonesia merupakan asuransi kesehatan terbesar di dunia. Dengan jumlah anggota lebih dari 215 juta orang. Bahkan lebih besar dari lembaga asurani di Amerika Serikat yaitu Obama Care yang hanya mampu merekrut 25 juta anggota.
Oleh karena itu tambahya dampak-dampak negatif terhadap BPJS Kesehatan harus segera diatasi. Seperti diketahui BPJS Kesehatan saat ini tengah mengalami defisit. Angka defisitnya sangat besar yaitu Rp16,5 Trililun dan dipastikan angka tersebut masih akan terus bertambah.
“Itu semua menjadi efek negatif yang harus kita perbaiki. Kalau gak diperbaiki bisa terjadi kayak Yunani kita ini. Dimana asuransi kesehatan dia menjadi salah satu andil Yunani bangkrut dari sisi keuangan,” tandasnya.[]
Rakisa