Dampak Covid-19, Indonesia Terancam Resesi?

Penumpang Bandara Internasional Soekarno- Hatta. (Garry)

JAKARTA, SSOL –  Pengamat Ekonomi Unika Atma Jaya, Rosdiana Sijabat menegaskan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,97 persen di kuartal pertama tahun 2020 masih dinilai positif meskipun kondisi terpuruk akibat dampak pandemi. Sehingga resesi ekonomi diprediksi tidak akan terjadi kecuali keadaan berubah untuk kuartal mendatang.

“Kuartal pertama tidak negatif, tapi turun. Kuartal kedua masih ditunggu. Nanti untuk indikator April, Mei, Juni akan dirilis bulan Juli. Jika di kuartal kedua kembali mengalami penurunan, maka akan terjadi resesi (ekonomi),” kata Rosdiana dalam webinar bertema “Fase New Normal Tetap Jaga Protokol Kesehatan”, Senin (22/06/2020).

Rosdiana menambahkan, secara angka, tidak terjadi resesi. Namun, akan terdampak pada gangguan daya beli. Saat ini, lanjutnya, daya beli masyarakat cenderung negatif. Hal ini menjadi salah satu pemicu menurunnya ekonomi di quartal pertama.

“Saran saya ke pemerintah, setelah 3-4 pekan sejak PSBB, harusnya segera evaluasi. Karena gelombang kedua pandemi jauh lebih berbahaya. Apalagi, ada masalah dengan daya beli. Pemerintah harus segera mencegahnya jika tidak ingin terjadi resesi,” ungkapnya.

Masyarakat, kata Rosdiana, seharusnya menjadikan pandemi Covid-19 sebagai blessing in disguise. Artinya, mentransformasikan hal yang dianggap buruk (Covid-19) sebagai suatu hal baik atau berkah. Sehingga, memberikan dampak positif dalam kehidupan sosial.

“Tidak semua orang siap berdagang secara online. Tapi, mereka terpaksa belajar singkat soal jual beli online. Ini kan blessing in disguise. Situasi ini, harus jadi momentum bagi pemerintah mengeluarkan kebijakan e-commerce agar lebih user friendly. Baik dari sisi hulu dan hilir terkait ekonomi UMKM,” demikian Rosdiana.

Tak hanya ekonomi, dampak Covid-19 juga ikut dirasakaan oleh seluruh perusahaan media. Terjadi penuruan pemasukan iklan hingga 80 persen sejak Covid-19 mewabah. Plt. Ketum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Mahmud Marhaba, mengungkapkan fakta yang terjadi di lapangan.

“Perusahan pers sangat terpukul. Banyak perusahan media yang terpaksa merumahkan karyawan, loper, mengurangi jam tayang atau halaman, dan sebagainya,” terang Mahmud.

Media juga mengalami dilema dalam penyampaian informasi. Sebagian pihak menyebutkan, media justru penyebabkan kepanikan di tengah masyarakat. Namun, di sisi lain, berkat informasi melalui media, justru mampu menekan meledaknya jumlah korban.

Dari sisi pemberitaan, Mahmud menyebutkan, masih banyak pemerintah daerah (pemda) yang tidak kooperatif. Susah dikonfirmasi. Ini pun belum termasuk kendala lain dari serangan hoaks (berita bohong) lewat media sosial.

“Apalagi tahun ini bentrok dengan Pilkada. Saat pemerintah pusat menerapkan protokol kesehatan, Pemda malah melakukan sebaliknya. Mengumpulkan massa. Ini menjadi tantangan besar bagi perusahaan media,” lanjutnya.

Sebelumnya, Dewan Pers dan organisasi media telah mengajukan permohonan insentif kepada Presiden Joko Widodo. Suatu dilema yang dihadapi perusahaan media karena mendapat sorotan tajam masyarakat. Namun, menurut Mahmud, kerjasama dengan pemerintah justru membuat media terlihat profesional. Baik secara manajemen dan redaksional.

“Porsi media tetap harus masuk ke tengah-tengah pemerintah, sebagai kontrol sosial. Media perlu menjaga independensi pemberitaan. Namun, di sisi lain, juga perlu menjaga agar bisnis tetap berjalan. Lewat kerjasama pemberitaan, advertorial dan lain sebagainya,” pungkas Mahmud. []

Editor : Rakisa