*CAHAYA LANGIT 28 OKTOBER 1928* *”KITA INI BERSAUDARA”*

Oleh : Ir. S Purwadi Mangunsastro, MM – Wangsa Sultan Arya Penangsang, Kerajaan Demak V, Sekjen PDKN Partai Non Kontestan.

Sahdan, pada tanggal tertentu bulan tertentu berduyun-duyunlah  seluruh penjuru tanah air menuju satu titik guna unjuk diri dengan masing-masing membekali niat luhur untuk kejayaan Indonesia. Pemandangan seperti ini menjadi lumrah termasuk baru-baru ini ada aksi 411.

Diawali ketika 8 tahun yang lalu ada peristiwa spektakuler dimana jutaan orang tumplek di Monas Jakarta pada tanggal 02 Desember 2016, dan ajaib tatkala mengakhiri aksi tersebut area Monas Jakarta ditinggalkan peserta aksi tetap rapi bersih bagai tanpa jejak. Masih tercatat dalam sejarah penanggung jawab mengklaim bahwa aksi itu bukan aksi politik tapi membela iman islam. Dalam lanskap politik yang terjadi di Indonesia tidak dipungkiri gerakan-gerakan massa demikian cukup erat dengan politik dan kekuasaan, namun dibalut nama agama.

Kita patut menoleh kembali perjalanan gerakan perjuangan pada era pra kemerdekaan dulu. Perjuangan bangsa dipelopori semangat kebangsaan padahal saat itu negara sendiri belum ada, bahkan kata Indonesiapun masih asing kala itu. Begitu heroiknya kaum muda saat itu yang satu sama lain saling terhubungkan oleh satu rasa mempersatukan kekuatan gerakan pemuda Indonesia agar perjuangan mendapatkan kemerdekaan dapat tercapai. Berlangsung tidak gegap gempita, bisa dipahami era itu kolonial hindia belanda yang berkuasa. Penguasa Belanda siaga menghardik pertemuan-pertemuan kaum muda tanah air.

Rangkaian peristiwa 27 Oktober 1928 tidak bisa dikesampingkan bagi lahirnya ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang dihadiri Jong Java, Jong Sumatra (Pemuda Sumatera), Pemuda Indonesia Sekar Rukun, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Tanggal 27 Oktober 1928 menjadi rapat pertama di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng, dimana Bung Soegondo dan Bung Moehammad Jamin mencerahkan peserta dan memperkuat  persatuan Indonesia dari sisi sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Dilanjutkan rapat kedua di hari Minggu 28 Oktober 1928 pagi di Gedung Oost-Java Bioscoop, tampil Bung Poernomowoelan, Bung Sarmidi Mangoensarkoro mengupas pendidikan kebangsaan termasuk pentingnya pendidikan demokratis.

Rapat ketiga di sore hari yang sama di Gedung Indonesische Clubgebouw tampil Bung Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi serta Bung Ramelan mengemukakan gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Di akhir rapat diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut disambut sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres  yang kita kenal secara lengkap Pertama, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia; Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia; Ketiga, Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Betapa luar biasa warisan semangat juang ditinggalkan oleh pejuang kemerdekaan pada masa pemuda-pemuda berikrar Sumpah Pemuda. Ghirah perjuangan kaum muda itu akhirnya diridhoi Allah dan negara Indonesia ini berhasil berdiri dan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan esoknya tanggal 18 Agustus 1945 dikukuhkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Menjadi pertanyaan, bagaimana riwayat paska Sumpah Pemuda di tanggal 29 Oktober dan 30 Oktober 1928 ketika ghirah Sumpah Pemuda telah membuahkan energi positif bagi para pejuang hingga menghasilkan Indonesia merdeka? Apakah setelah mereka selesai rapat lalu senyap?

Dalam senyap ternyata perjuangan kaum muda untuk berdirinya negara tetap membara. Tercatat dalam sejarah mereka mulai menyadari pentingnya rasa persatuan untuk meraih kemerdekaan Indonesia hingga seluruh organisasi pemuda dijadikan satu dalam Indonesia Muda. Ini menandakan visi bersama kebangsaan makin menguat. Bisa dibayangkan jika kelompok etnis, suku, agama saling tidak tepo seliro maka mungkin saja Indonesia tidak akan pernah ada. Kita harus bangga betapa pejuang tempo dulu dengan sejuk menjalankan ritme perjuangannya sebab keberadaan perbedaan budaya, etnis dan agama bisa memicu ketegangan dan konflik yang  akan menghambat perjuangan melawan penjajah. Ini semua menunjukkan pratanda betapa Ikrar Sumpah Pemuda yang jadi tonggak sejarah itu bukanlah semata-mata kehendak manusia. Perwujudan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia sesungguhnya awal turun cahaya langit yang tidak akan musnah dimakan waktu.

Rona cahaya langit 28 Oktober 1928 terus berpendar hingga burung sakti elang Rajawali atau Garuda dicetuskan Sultan Hamid II Pontianak tahun 1950 menjadi lambang negara Indonesia memiliki makna yang sangat mendalam, dimana bulu ekor 8 helai, bulu dibawah perisai 19, bulu masing masing sayap 17 helai, bulu di leher 45 helai dan ini menggambarkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, serta garuda yang berdiri gagah berseri wajah dengan kepala menengok ke kanan di dadanya terpampang perisai Pancasila hingga ujud keseluruhannya melambangkan kekuatan dan warna emasnya melambangkan kemuliaan dan Indonesia akan selalu berjalan di arah yang benar. Kehebatan burung garuda menggambarkan tanggal penting perjuangan bangsa dan harapan tampak jelas pada pita putih yang dicengkeram bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menunjukkan bahwa keberagamanlah yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia untuk terus bertahan.

*Transformasi UUD*

UUD 2002 yang secara ideologis mengalir dalam Batangtubuh UUD 2002 ditengarai telah menyimpang dari pandangan hidup atau sistem nilai dasar yang menjadi landasan bagi negara dan seluruh bangsa karena tidak selaras lagi dengan Pancasila sebagaimana dimaksud Pembukaan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Dari sinilah seluruh elitis negeri penting kembali menyelami jiwa atau ruh Pancasila yang dipersiapkan paripurna oleh founding father termaktub dalam alinea 4 Pembukaan UUD 1945 yang posisinya sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sebuah pertanyaan besar, mau dibawa kemana negeri ini ketika generasi bangsa akan tergeser ideologis akibat terputusnya mata rantai kesinambungan kebudayaan oleh sebab berubahnya nilai-nilai philosofi bangsa?

Di masa sekarang pasca reformasi dengan berlakunya UUD 2002 tanpa disadari  terbukakan pintu halus penjajahan era baru yang polanya sangat berbeda dengan jaman dulu. Dunia penjajahan telah bergeser secara soft agresif menggunakan dimensi ekonomi, politik, moral, sosial, budaya, pembodohan dan pemiskinan serta dekadensi iman agama, sex bebas, hingga adu domba serta perusakan masif tatanan etika birokrasi negara. Memasuki abad 20 paradigma arus global melanda di seluruh dunia dan menjadi media empuk menganeksasikan pola penjajahan baru melalui ideologi kapitalism, liberalism dan komunism yang menyusup lembut dalam pasal-pasal pada Batangtubuh UUD 2002.

Betapa piawainya penjajah hingga tanpa disadari yang jadi musuh justru bangsa kita sendiri, saudara-saudara kita sendiri. Mulai dari korupsi, judi on line, sabu-sabu, miras, industri makanan haram baik pelaku maupun kurban adalah saudara atau sedulur-sedulur kita. Kita jadi bertikai diantara sesama saudara sebangsa setanah air dan tentunya ini tidak kondusif untuk membangunkan Pancasila dan UUD 1945 menjadi ideologi dan konstitusi yang hidup ditengah-tengah peradaban. Belajar dari tempo dulu pejuang Indonesia Muda aksi-aksi perjuangan politik yang berbalut keagamaan, kedaerahan, tidak efektif melawan penjajahan yang kuat.

Fakta ini menjadi ingatan agar seluruh komponen bangsa waspada dan penting membentengi diri ditengah derasnya serbuan arus globalisasi yang menebarkan racun sekulerism. Bangsa ini perlu bersama-sama mengosongkan hati dan mengembangkan pikiran reflektif kemuliaan cahaya langit 28 Oktober 1928,  sebab andai ikrar Sumpah Pemuda sebagai jasad maka wajiblah kita sebagai komponen bangsa menghadirkan ideologi Pancasila 18 Agustus 1945 agar konstitusi mampu mengatasi semua persoalan seperti globalisasi, kritik atau keluhan masyarakat terhadap suatu Undang Undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang dipertentangkan karena tidak selaras dengan Pembukaan UUD 1945.

*Amanat Ampera Wasiat Sukarno*

Cahaya langit itu menerangi bumi Indonesia yang senantiasa terpancar lembut hadir beriring kepakan sayap sang Rajawali. Merujuk riwayat ikrar Sumpah Pemuda, betapa tergambarkan aliran “sumilir”nya angin kipas nusantara terkembang dalam dialog budaya yang saling merekatkan kebudayaan masing-masing komponen bangsa melalui proses yang bernilai elegan “rukun agawe santoso cah agawe bubrah”. Mungkin inilah tantangan bagi pemimpin bangsa di era global ini untuk mengadaptasikan kebijakan pembangunan struktur konstitusi, hukum, politik, ekonomi dan budaya kedalam kebijakan pembangunan infrastruktur dengan merujuk strategi kebudayaan yang tidak hanya terdapat cita-cita rakyat makmur dan sejahtera tetapi juga panduan nilai berbangsa, daya kerja dan pemecahan masalah dengan skala prioritas yang memerlukan kepekaan para pemimpin akan “sense of crisis dan sensitif of urgency” sebagaimana diingatkan oleh Hamengku Buwono X dalam keynote speech dalam seminar Strategi Kebudayaan untuk Kedaulatan Bangsa tahun 2012 di UGM Yogyakarta.

Merenungi benang merah kelahiran Indonesia yang bermula dari segelintir raja-raja nusantara yang menitipkan pesan awalnya melalui ulama pada tahun 1922 untuk disampaikan kepada kaum muda pejuang yang kemudian hari menjelma menjadi tokoh pendiri bangsa mengamanahkan kepada rakyat yang dikenal Ampera atau Amanat Penderitaan Rakyat. Seiring pergerakan kaum muda saat itu pada tahun 1924 runtuhlah empayar kekhalifahan usmany turkey yang hal ini ada hubungannya dengan Nusantara yang dahulunya merupakan empayar yang besar sebagai induk peradaban yang pernah dibangunkan di muka bumi. Namun menurut Wasiat Sukarno penting diberikan pemahaman sesuai bahasa nusantara agar tidak keliru dengan penjelasan dalam bahasa arab tentang pengertian Khilafah Islamiah yang merujuk pada Empayar Othmaniah Turkey yang ketika Empayar Othmaniah Turkey diruntuhkan dulu bukan gambaran sebenar tentang Khalifah yakni gambaran tentang Peradaban Nusantara yang rakyatnya makmur sejahtera bahagia laksana hadirnya syurga di dunia.

12 tahun sudah pesan Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut dan baru terkuak lagi sekarang di saat bangsa ini dihadapkan periode kepemimpinan negara baru dibawah Prabowo Subianto Presiden ke 8 RI. Hari ini hari ke 19 Presiden Prabowo menjabat. Pidato Presiden Prabowo yang menggelegar akan mewujudkan  kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagian rakyat seperti janji pendiri bangsa sudah tentu menjadi penyejuk rakyat. Di saat negara terpuruk dalam jeratan hutang nyaris 15 ribu triliun alangkah akan semakin dalam jika pembiayaan pembangunan APBN 2025 bertumpu pada tambahan hutang, dan rakyat yg sudah semakin jatuh miskin pada dasawarsa terakhir ini bukan tidak mungkin akan tambah menderita.

Amanah Ampera yang diwasiatkan Ir. Sukarno bukan cek kosong belaka akan tetapi amanah yang sejatinya berasal dari raja-raja sultan nusantara tersebut disertai dengan Aset Dinasti Nusantara yang terhubung sebagai aset collateral tersistem global monetery internasional asset dirujuk WB dan IMF. Kembali menilik historical ikrar Sumpah Pemuda sebagaimana ghalibnya leluhur bangsa kita yang acapkali menyandarkan pada frasa angka-angka dan huruf dalam peristiwa kejadian tertentu maka sesungguhnya angka-angka 28 10 19 28 merupakan perwujudan sasmita sang Rajawali yang daripadanya disuguhkan sebagai pembuka pintu rahmat bagi bangsa ini manakala bangsa ini konsern dengan memperjuangkan keujudan amanah penderitaan rakyat yang pada dasawarsa terakhir ini justru rakyat semakin terhimpit dalam tekanan ekonomi sementara disisi lain elitis negeri bergelimang kekayaan yang ditengarai akibat merajalelanya perilaku koruptif.

Pesan raja kesultanan Yogyakarta Hadiningrat 12 tahun lalu tak bisa dianggap ucapan pidato biasa tetapi merupakan pesan sakral seorang raja karena yang sesungguhnya kerajaan Yogyakarta Hadiningrat berbeda dengan kerajaan dan kesultanan yang lain di nusantara oleh sebab baik Sultan Hamengkubuwono IX maupun Sri Paduka Paku Alaman VIII mengeluarkan dekrit kerajaan yang bernama Amanat 5 September 1945 berisi tentang penyatuan sistem monarki Jogja ke dalam NKRI. Sebuah monumentasi perjuangan kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia yang asal muasalnya keinginan raja-raja tersebut untuk membangunkan kembali empayar agung sehingga rakyat Indonesia memperoleh gambaran sejarah tersembunyi sebagaimana keinginan Tuhan tersembunyi dalam sejarah penciptaan alam semesta.

Begitu bermakna ikrar Sumpah Pemuda yang bisa diambil adalah semangat terus berkobar sekalipun banyak rintangan seperti yang dilakukan para pemuda
generasi terdahulu. Warisan konstitusi leluhur bangsa tidak perlu diragukan lagi atau mencoba mencari-cari rujukan dasar bernegara dari sumber mancanegara dengan dalih demokrasi dan kebebasan HAM. Pancasila memiliki makna sebagai pedoman dan prinsip dasar dalam kehidupan, serta sebagai dasar bagi negara dalam mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan negara, sekalipun dikepung oleh kondisi dan kebijakan ekonomi dan politik kolonial (era penjajahan baru) yang eksploitatif seperti kini sedang terjadi.

Amanah Ampera adalah program mangkus yang tinggal dijalankan saja yang konsepsi sesungguhnya lahir dari kehendak raja-raja untuk mengaktualisasikan substansi nasionalisme Indonesia yang berakar pada sejarah melawan kolonialism dan imperialism. Para politikus terlebih kaum politikus muda di era kekinian yang banyak terjun di politik bangunlah pembaharuan dan perubahan signifikan politik. Sebab, jangan sampai bangsa dan negara kita justru terdeviasi semakin jauh dari haluan negara, maka bangunkanlah Indonesia cita rasa Indonesia. Ingin sejahterakan rakyat, adil makmur dan bahagia? Disinilah tersimpan kunci amanah ampera. (SP Official, 071124).

LEAVE A REPLY